Kebudayaan Indonesia Ajarkan Toleransi Bukan Radikalisme - kontra narasi islam

Opini

test banner
LightBlog

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Kebudayaan Indonesia Ajarkan Toleransi Bukan Radikalisme

Share This

Leluhur bangsa Indonesia adalah masyarakat yang sangat toleran dalam menerima unsur-unsur kebudayaan pendatang. Tapi juga tidak meninggalkan kebudayaan asalnya. Toleransi adalah keniscayaan yang sudah menyerap kedalam jiwanya, bukan sekedar omongan belaka. 
Banyak contoh yang bisa kita lihat, bagaimana wujud toleransi terlihat dalam kehidupan kesehariannya, antara lain adalah:
1. Menara Mesjid Kudus
Menara Kudus | Sumber: dream.co.id
Menara Kudus | Sumber: dream.co.id
Melihat Menara Mesjid Kudus kita akan menyaksikan perpaduan harmonis yang hampir mustahil kita lihat di zaman sekarang. Menara dengan unsur agama Hindu yang kental bersanding dengan kubah mesjid yang menunjukan keislamannya, tanpa harus menisbikan satu sama lain. 
Sebuah pelajaran dan hikmah kebijaksanaan yang patut diteladani saat ini. Menara Mesjid Kudus merupakan simbol dari toleransi, kedamaian dan kerukunan hidup beragama.
2. Upacara Tabot
Sumber: antaranews.com
Sumber: antaranews.com
Tradisi Ritual Tabot sudah ada sejak 300 tahun yang lalu. Tabot adalah upacara yang digelar untuk mengenang kisah kepahlawanan cucu nabi Muhammad SAW, Ali bin Thalib. Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin merupakan tokoh pertama yang mengadakan ritual Tabot. Dia berasal dari India dan menikah dengan wanita asli Bengkulu. Keturunan mereka disebut Keluarga Tabot atau Orang Sipai. Mereka lah yang melaksanakan upacara Tabot hingga sekarang.
Walaupun ritual ini awalnya dilakukan oleh pemeluk agama Islam Syiah namun para pemeluk agama Islam Sunni pun tidak pernah merasa keberatan dengan adanya upacara itu. Bahkan kaum Islam Sunni pun ikut membantu dalam persiapan ritual Tabot ini. 
Kerukunan hidup umat beragama di Bengkulu tampak jelas dengan tetap berlangsungnya ritual Tabot hingga kini. Saling menghargai keyakinan masing-masing umat akan menciptakan kehidupan yang damai. Di Sumatera Barat pun ada juga tradisi ini yang di sebut Tabuik.
3. Watu Pinawetengan
Sumber: tribunnews.com
Sumber: tribunnews.com
Asal mula peradaban masyarakat di Minahasa, Sulawesi Utara, diyakini berawal dari Watu Pinawetengan ini. Arti dari Watu adalah batu, dan Pinawetengan adalah tempat pembagian, atau diartikan janji. Di batu inilah dahulu kala terjadi musyawarah nenek moyang masyarakat Minahasa yang membagi membagi menjadi sembilan sub etnis. 
Batu ini merupakan simbol persatuan antar sembilan sub etnis itu, karena jika terjadi perselisihan antar sub etnis maka akan diselesaikan secara musyawarah di sini. Dan batu ini juga mengingatkan bahwa pada asalnya mereka adalah bersaudara.
4. Kuliner Daging Kerbau di Kudus
Sumber: menuinternasional.com
Sumber: menuinternasional.com
Meskipun masyarakat Kudus mayoritas beragama Islam tapi mereka enggan untuk menyembelih sapi, mereka lebih memilih untuk menyembelih kerbau. Tradisi ini berawal dari himbauan Sunan Kudus untuk menghargai umat Hindu yang menganggap sapi adalah hewan suci mereka. 
Masyarakat Kudus mengikuti himbauan tersebut, bahkan mengembangkan kuliner khas Kudus yang tersaji dari daging kerbau. Seperti Pindang Kerbau, Sate Kerbau, Soto Kerbau dan Kerupuk rambak kulit kerbau.
Masih banyak lagi bukti-bukti Jejak Toleranskebudayaan Indonesia, yang telah menjadi tradisi turun temurun selama berabad-abad. Yang semestinya menjadi acuan dalam kehdupan sehari-hari, sehingga tidak ada tempat lagi untuk tapak intoleransi dan radikalisme. karena jika kebudayaan leluhur mulai ditinggalkan, niscaya kehancuran akan datang pada bangsa Indonesia.
Sumber: indonesian-tesury.blogspot.com
Sumber: indonesian-tesury.blogspot.com
Seperti yang dikutip dari Secret History of Freemasonry, bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan mejajah suatu negeri:
Pertama, kaburkan sejarahnya. 
Kedua, hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya.
Ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Sebelum ketiga hal itu terjadi, yang artinya kita mendapat free ticket ke penjajahan lagi, sudah seharusnya kita menghidupkan terus kebudayaan dan tradisi lokal yang selama ini menjaga kita dari keterpecah belahan dan kehancuran.

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages